Resensi Buku Sarinah (Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia) oleh Etika etikafilosofia
Apakah Perempuan Sekarang Sudah Menjadi Sarinah Seperti yang Soekarno Impikan?
Kajian mengenai perempuan menjadi topik yang hangat setelah munculnya arus kesadaran “perempuan berdaya” menyeruak ke permukaan. Banyak buku yang membahas tentang perjuangan dan pergerakan perempuan diproduksi sebagai usaha mengarus utamakan wacana tersebut. Meski demikian, kajian tentang perempuan sebetulnya bukan isu baru bagi para cendekiawan negeri ini.
Dua tahun setelah Indonesia merdeka, Presiden Indonesia, Ir. Soekarno menerbitkan buku berjudul Sarinah (Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia) yang secara spesifik menggambarkan kegelisahannya tentang posisi perempuan pasca kemerdekaan. Kala itu, perempuan tak ubahnya perhiasan yang fungsinya menjadi alat hias seseorang. Saat ia selesai dipakai, maka akan disimpan dan ditutup rapat di kotak perhiasan dan dikeluarkan jika yang punya merasa membutuhkan.
Soekarno melihat bentuk penjajahan lain atas kemanusiaan melalui perempuan yang tidak merdeka dalam menentukan dan melakukan berbagai hal. Karenanya, ia secara gamblang mengkritik pandangan laki-laki yang masih menganggap perempuan sebagai makhluk yang tidak berdaya, “blasteran antara Dewi dan seorang tolol”. Baginya, tatanan negara dan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik jika orang-orang di dalamnya tidak mengerti soal perempuan. Sebab mereka merupakan fondasi penting dalam pembangunan suatu negara.
Buku ini setebal 293 halaman. Terdiri dari enam bagian yang semuanya merupakan esai refleksi dan pemikiran Soekarno dalam memahami urgensi peran perempuan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Nama Sarinah dipakai untuk menjuduli judul buku sebagai bentuk penghormatan Soekarno kepada pengasuhnya saat ia masih kanak-kanak. Sekaligus menjadi representasi perempuan Indonesia di masa itu yang menjadi “orang kecil” tetapi budinya selalu besar. Buku Sarinah praktis menjadi literatur utama yang membuka kran wacana tentang perjuangan dan pergerakan perempuan di Indonesia; alasan utama mengapa saya memutuskan untuk meresensi buku ini.
Perempuan: Blasteran Antara Dewi dan Orang Tolol
Pengibaratan yang ditulis Soekarno atas perempuan yang tak ubahnya blasteran antara seorang dewi dan seorang tolol diambil dari perkataan Professor Havelock Ellis. Konteksnya merujuk pada laki-laki yang mendambakan perempuan namun tidak memberi mereka ruang untuk berdaya secara merdeka. Dalam tulisannya, Soekarno memberi refleksi pengalamannya saat mengadakan rapat-rapat kenegaraan yang diputuskan oleh satu majelis laki-laki saja, sementara pihak perempuan tidak ditanya pendapatnya sama sekali. Padahal gelaran majelis tersebut ditujukan untuk kemaslahatan bersama rakyat Indonesia.
Ia mengandaikan kemerdekaan untuk perempuan saat mereka didudukkan sebagai manusia kelas dua di masa itu. Soekarno mengkritik dengan lugas tentang sikap para laki-laki yang tidak ingin melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan.
“Di dalam masyarakat sekarang ini, saya melihat bahwa kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai kaum perempuan…., dialah kadang-kadang merasa dirinya cukup bijaksana untuk mengambil keputusan, -sedang kaum perempuan tidak diajak ikut bicara.”
Soekarno tidak menafikan perbedaan kodrati laki-laki dan perempuan, baik secara fisik dan psikis. Ia menentang anggapan bahwa Ketajaman otak perempuan masih kalah dengan laki-laki. Soekarno tidak berasumsi saja, banyak refrensi yang Soekarno gunakan dalam tulisannya untuk membantah persepsi tersebut.
Makin Besar Otak Makin Pintar?
Salah satu contoh stigma yang mengatakan bahwa berat massa otak berhubungan dengan ketajaman akal pikir individu. Jadi, lantaran laki-laki mayoritas memiliki berat massa otak lebih banyak, maka mereka memiliki ketajaman akal pikir yang lebih ketimbang perempuan. Soekarno memberi paparan penelitian yang datang dari Raymond Pearl dan Kohlbrugge terkait hal tersebut. Dua tokoh itu sepakat mengatakan bahwa, “antara ketajaman akal dan beratnya otak tidak ada pertalian apa-apa.”
Perihal alasan mengapa tidak banyak tokoh perempuan yang memiliki prestasi gilang gemilang untuk peradaban, Soekarno menilai bahwa hal tersebut terjadi sebab estafet obor ilmu pengetahuan, falsafah, dan politik masih bergulir di tangan laki-laki tanpa memberi perempuan kesempatan untuk mengalami hal yang sama.
“Di dalam masyarakat sekarang ini, di mana kaum perempuan banyak yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih kesempatan maju ke muka di lapangan masyarakat, banyak yang baginya diharamkan ini dan diharamkan itu, maka tidak heran kita, bahwa kurang banyak kaum perempuan yang ilmu dan pengetahuannya membubung ke udara.”
Perempuan bukan sosok lemah, tak berdaya, dan tidak memiliki sumbangsih dalam membentuk peradaban masyarakat. Mereka hanya tidak diberi kesempatan yang sama dan ruang untuk mengekspresikan diri. Kebangkitan perempuan bukan sesuatu hal yang harusnya ditakutkan oleh laki-laki, melainkan menjadi hal yang harus terjadi.
Perempuan juga manusia yang memiliki nilai di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sejarah perempuan selalu bergandengan dengan sejarah laki-laki, tak terpisahkan. Urgensi perempuan dalam ketatanegaraan sangatlah penting. Soekarno mengutip sabda Nabi Muhammad SAW bahwa, “Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan rusaklah negeri”.
Soal perempuan seluruhnya, posisi perempuan, peran perempuan, di dalam masyarakat harus mendapat perhatian sentral agar tujuan bangsa dalam merengkuh keadilan sosial dan kesejahteraan sosial dapat tercapai. Sebab, suatu masyarakat dikatakan sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan yang sama tengahnya, sama beratnya, dan sama adilnya.
Buku Sarinah (Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia) ini meski merupakan literatur tua, tapi ia masih jelas memberi gambaran dan perspektif ketimpangan gender yang terjadi di Indonesia. Secara lugas, buku ini coba menjembatani nilai luhur bangsa dengan ide-ide pemberdayaan dan pergerakan perempuan sebagai tonggak peradaban Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selamat membaca!
Judul: Sarinah (Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia)
Penulis: Ir. Soekarno
Tahun terbit: 1947
Penerbit: The Soekarno Foundation
Halaman: 293
Peresensi : etikafilosofia, Direktur Program di Digital Humanities Center of Indonesia



Bahkan drajat perempuan tiga jali lebih mulia . Hendaknya perempuan memang duduk sama rendah berdiri sama tinggi . Sehingga tak oerlu ada kuota khusus minimal keterwakilan perempuan