Bagaimana Memahami Nietzsche: Resensi Buku Gaya Filsafat Nietzsche
Nietzsche, filsuf yang tidak dapat dikotakkan dalam satu pandangan tunggal. Ungkapannya yang terkenal, “Tuhan sudah mati”, sering disalahpahami dan memicu kontroversi, tetapi kita tidak bisa buru-buru menuduhnya sebagai sosok yang “membunuh Tuhan.” Justru, jika kita mencicipi pemikiran Nietzsche dengan serius, kita akan menemukan bahwa filsafatnya ternyata juga mengajak kita untuk “memurnikan Tuhan dari kekerdilan anggapan kita tentang-Nya” (hlm. 6).
Nietzsche merefleksikan filsafat ateis, tapi kita tidak bisa serta-merta mengategorikannya sebagai penganut ateisme. Dalam banyak tulisannya, dia justru memperolok mereka yang merasa telah mencapai pencerahan dengan jalan ateisme.
Nietzsche digambarkan sebagai filsuf-seniman yang tidak pernah berhenti mencari. Pemikirannya tidak mudah dipahami. Itulah mengapa buku ini penting, buku ini hadir sebagai sebuah usaha yang memberikan “cara membaca dan memahami Nietzsche” (hlm. 28).
Lalu, bagaimana memahami Nietzsche? Mungkin itulah pertanyaan pertama yang patut kita ajukan. Apakah kita bisa memahaminya hanya dengan menjadi pengamat yang membedah karyanya secara kritis? Ternyata tidak. Penulis buku ini menunjukkan bahwa memahami Nietzsche memerlukan pendekatan yang lebih personal, yaitu melalui pemahaman atas diri kita sendiri.
A. Setyo Wibowo menulis “Kita bisa mengikuti langkah-langkah nietzschean justru ketika kita menjadi diri kita sendiri. Personalitas pengalaman Nietzsche tidak bisa dipahami dari luar—seolah-olah menjadi pengamat yang membedah corpus nietzschean—, ia justru bisa dipahami manakala kita sendiri memahami pengalaman personal kita!”(hlm. 33).
Pendekatan semacam ini tentu membuat pemahaman terhadap Nietzsche menjadi subjektif, artinya setiap orang mungkin memiliki tafsir yang berbeda-beda. Dan memang itulah yang diinginkan Nietzsche. Baginya, tidak penting yang mana yang lebih benar, karena pemikirannya tidak pernah hitam-putih. Nietzsche justru mempersilahkan berbagai macam tafsir, meski hal ini membuat interpretasi atas karyanya begitu beragam, aneh, terkadang konyol, namun tetap menarik dan menantang untuk ditelusuri (hlm. 21).
Meskipun terbuka terhadap perbedaan penafsiran, Nietzsche menetapkan satu kriteria dalam menilai kualitas sebuah tafsir: ada yang bersifat dekaden (melemah, menjauh dari mutu) dan ada yang bersifat ascenden (menaik, menguat, menunjukkan kualitas)” (hlm. 21). Tafsir disebut dekaden ketika kehilangan keutuhan ide, sedangkan tafsir ascenden mengandung semangat hidup dan keutuhan maksud (hlm. 22).
Bagi para pembaca yang ingin memahami filsafatnya, Nietzsche memberi himbauan sederhana namun mendalam, “gigi yang kokoh, perut yang kuat. Itulah yang aku harapkan darimu. Dan kalau bukuku sudah kaucerna pasti kau tahu bagaimana mengerti dirimu sendiri bersamaku” (hlm. 78). Melalui himbauan ini, dia berharap pembacanya bukan hanya mencerna bukunya secara pasif, tetapi juga mendorong pembaca untuk menggunakan gagasannya sebagai cermin untuk melihat diri sendiri dengan lebih jelas.
Memahami Nietzsche, pada dasarnya, dimulai dengan memahami diri sendiri. Maka, menurut Nietzsche, sebutan terbaik untuk pengikut sejatinya adalah “diri sendiri” (hlm. 26). Bagi Nietzsche, pemikiran tidak pernah terlepas dari tubuh si pemikir; setiap pemikiran, betapapun objektifnya klaim yang melekat padanya, tetaplah suatu gejala yang menunjukkan kualitas pribadi si pemikir—apakah ia menaik (ascenden) atau menurun (dekaden). Pemikiran yang sejati menuntun kita untuk bertanya pada diri sendiri, mengenal siapa diri kita, dan hanya dengan proses itu kita dapat memahami gaya filsafat Nietzsche secara perlahan dan mendalam.
Buku ini memperkenalkan gagasan-gagasan pokok Nietzsche yang provokatif dan menggugah. Penulisnya berhasil mengupas bahwa memahami filsafat Nietzsche bukanlah sekadar mencerna pemikiran abstrak, melainkan membutuhkan keberanian untuk bertanya pada diri sendiri dan menguji karakter. Nietzsche mengajak kita melakukan introspeksi radikal, sebuah kejujuran mendalam yang mempertanyakan seluruh nilai yang selama ini kita pegang.
Buku ini terbagi dalam lima bab yang saling melengkapi. Bab pertama menyajikan biografi singkat Nietzsche, memberikan latar belakang yang membantu memahami pengalaman dan pemikirannya. Bab kedua dan ketiga membahas pola berpikir Nietzsche untuk menggali cara ia merumuskan proposisi-proposisinya. Pada bab keempat, salah satu gagasan utama Nietzsche, yaitu “kebutuhan untuk percaya”, dijelaskan secara mendalam. Bab terakhir mengangkat diskusi tentang “kematian Tuhan” yang terkenal, sekaligus mengungkapkan perspektif baru yang Nietzsche tawarkan bagi manusia modern. Buku ini diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari penulis, yang menjadi undangan terbuka bagi pembaca untuk meninjau kembali pemikiran Nietzsche dalam hidup mereka.
Buku ini sangat relevan bagi siapa pun yang tertarik pada filsafat, khususnya pemikiran Nietzsche. Di dalamnya, pembaca tidak hanya diajak untuk memahami Nietzsche, tetapi juga untuk meninjau ulang cara pandang mereka terhadap hidup dan pemikiran. Dengan bahasa yang tajam dan kritis, penulis berhasil menghadirkan Nietzsche sebagai filsuf yang tidak hanya menantang akal, tetapi juga menawarkan gaya hidup yang menolak kelemahan dan mengedepankan keberanian diri.
Melalui gaya penulisan yang informatif, reflektif, dan mengalir, buku ini mampu menjembatani kompleksitas pemikiran Nietzsche sehingga lebih mudah dipahami oleh pembaca Indonesia. Ini merupakan sumber yang sangat berharga bagi siapa pun yang ingin memperdalam pengetahuan tentang salah satu filsuf paling berpengaruh di dunia.
Judul : Gaya Filsafat Nietzsche
Penulis : A. Setyo Wibowo
Penerbit : PT. Kanisius
Tahun Terbit : 2017
Halaman : 440
Peresensi : Arizul Suwar



