• Login
Resensi.id
  • Beasiswa
    • Beasiswa Go-Book
    • Beasiswa Go-Read
    • Beasiswa Go-Res
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Peresensi
No Result
View All Result
  • Beasiswa
    • Beasiswa Go-Book
    • Beasiswa Go-Read
    • Beasiswa Go-Res
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Peresensi
No Result
View All Result
Resensi.id
No Result
View All Result

Kapitalisme dalam Diskursus Agraria

admin oleh admin
24 April 2020
kategori agraria, lingkungan, Politik
0
0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke Whatsapp
Judul
: Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria
Penulis
: Henry Bernstein
Penerbit
: Insistpress 
Cetakan
: Cetakan pertama, 2019
Tebal
: 195 halaman
ISBN
: 978-602-0857-83-1
Peresensi
: Ahmad Muqsith
Kapitalisme bukanlah sesuatu yang alamiah dan tak terhindarkan, tetapi jika logika uniknya sudah terbentuk maka kapitalisme akan memaksakan dirinya berlaku di setiap bagian dunia. Logika itu adalah eksploitasi, akumulasi, dan kompetisi serta perkembangan terus menerus kapasitas produksi. Kapitalisme adalah eksploitasi terhadap tenaga kerja, suatu kondisi yang digerakkan oleh kebutuhan memperluas skala produksi demi mengejar laba.
Henry Bernstein menulis buku yang berjudul Dinamika Kelas Perubahan Agraria, sebuah bacaan berat sejujurnya. Jika anda tidak pernah bersentuhan dengan bacaan seputar Karl Marx (1818-1883) dan isu pertanian lainnya, anda tidak akan pernah memahami buku ini. Sepenuhnya buku ini berisi seperti judulnya, membahas dinamika kelas yang dianalisis dengan pisau ekonomi politik.
Buku ini dipenuhi teori dan istilah-istilah yang butuh kejelian untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Misal saat Bernstein membagi jenis kapitalisme, beda usaha tani dengan sektor pertanian, rezim tenaga kerja yang ia kelompokkan menjadi; kerja paksa, semi-proletarianisasi, produksi komoditas skala kecil dan proletarianisasi.
Bernstein menjelaskan di awal terkait faktor apa saja yang membedakan produktifitas tenaga kerja, sehingga perbedaan tersebut menghasilkan kesenjangan hasil panen. Ekonomi politik bukan sekedar teknologi, melainkan lebih ke kondisi-kondisi sosial produksi, semua relasi antar manusia yang membentuk corak bagaimana produksi dikondisikan (h.22).
Ia mencontohkan paparan dari Marcel Mazoyer dan Laurence Roundart (2006: 11), yang menjelaskan bahwa ada perbedaan hasil panen antara petani sub Sahara-Afrika (1 ton padi-padian dalam setahun), petani Hindia (5 ton padi-padian dalam setahun) dan petani Amerika (2000 ton padi-padian dalam setahun).
Buku ini dibuka dengan suguhan empat pertanyaan kunci; 1) siapa memiliki apa? 2) siapa melakukan apa? 3) siapa mendapatkan apa? 4) digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan itu? Empat pertanyaan ini menyiratkan urutan relasi sosial properti untuk pembagian kerja sosial, hal yang menentukan distribusi pendapatan sosial, menciptakan keragaman penggunaan produk sosial untuk konsumsi dan reproduksi (h 32).

Kolonialisme dan Kapiltalisme
Sejak 1870-an terjadi peningkatan investasi luar negeri yang mendunia, meliputi sektor ekstraktif kolonial (perkebunan, pertanian, pertambangan) dan jalur-jalur transportasi yang menghubungkannya ke pasar dunia melalui perkembangan transportasi kereta api dan pengapalan (h.56). Sebelum ada transportasi ini, transaksi pangan hanya sejauh 20 mil dari pusat pasar dengan tempat hasil panen. Perkembangan transportasi memungkinkan kapitalisme berkembang.
Revolusi industri menopang kolonialisme yang dilakukan negara-negara Eropa. Kolonialisme ini melibatkan perusahan dagang dari negara mereka masing-masing, di Indonesia ada Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC ) dari Belanda. Bernstein selanjutnya menjelaskan bagaimana praktik kolonialisme yang beragam, akhirnya menghasilkan jenis kapitalisme yang beragam pula.
Puncak kolonialisme di Asia dan Afrika berlangsung selama akhir abad XIX sampai pertengahan abad XX. Ditandai dengan lahirnya perkebunan industrial yang luas dengan pembukaan hutan tropis yang luas atau dengan menyerobot lahan petani kecil. Umumnya diiringi pengerahan massa dari petani termiskin dan buruh tuna kisma sebagai pekerjanya, tentu tidak jarang usaha pengerahan ini melibatkan kekerasan. Muncullah industri monokultur yang terspesialisasi skala luas seperti gula, kelapa sawit, karet, teh, kopi, dll (h.71).
Bernstein menggunakan argumen Andre Gunder Frank (1967), Immanuel Walerstein (1979), Arrighi dan Moore dan tentunya yang paling utama dari Karl Marx, untuk menyatakan bahwa lahirnya sistem kapitalisme dunia tidak bisa dipisahkan dari proses kolonialisme.
Neoliberalisme Membunuh Petani Kecil
Program neoliberalisme ditujukan untuk meningkatkan kebebasan dan mobilitas kapital untuk semakin mereduksi peran negara terkait; regulasi yang merugikan pekerja (buruh), tidak otonomnya negara dalam membuat kebijakan ekonomi makro, melakukan liberalisasi ekonomi, dan privatisasi di negara-negara selatan. Masa ini menandai proyek pembangunan nasional tidak lagi dipandu oleh negara.
Melalui IMF, World Bank dan WTO, negara Dunia Ketiga mengembangkan pembangunan yang merugikan petani. Sementara politik protesionisme pertanian di Amerika dan Uni Eropa membuat komoditas pangan mengalami surplus. Hal ini membuat neoliberalisme mengkampanyekan jargon daya saing, yang artinya lebih baik impor pangan murah dan kembangkan produk ekspor bernilai tinggi. Dalam Fenomena yang menguat sejak 1970-an ini sekaligus menjadi pembuka diskursus matinya petani kecil, yang bahkan kapitalisme dan marxisme menyetujuinya (h.118).
Di Bab VI konsep pertarungan sosial antara petani keluarga/skala kecil melawan kapital (industri pertanian) yang diajukan Araghi, dieksplorasi Bernstein. Ia menemukan bahwa independensi petani kecil ternyata juga bisa menyumbangkan keuntungan bagi sistem kapitalisme. Dalam perspektif ekonomi-politik, kelas dibangun berdasarkan relasi-relasi sosial produksi. Sebuah kelas hanya bisa diidentifikasi lewat hubungannya dengan kelas lainnya (h. 141).
Dalam membaca dinamika kelas, kita harus memahami apa itu komodifikasi, yaitu suatu proses dimana elemen-elemen produksi dan reproduksi sosial dihasilkan untuk, dan diperoleh dari, pertukaran pasar; dan elemen tersebut tunduk pada disiplin dan desakan pasar. 
Bab VII, Bernstein menjelaskan bagaimana diferensiasi kelas di petani mulai tercipta. Ia juga mencoba menghubungkan antara revolusi hijau dan terbentuknya kelas-kelas sosial di kelas petani. Kemudian di Bab selanjutnya, buku ini ditutup dengan contoh gerakan perlawanan agraria yang dinilai sukses di Brazil lewat Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST).
Kemudian Bernstein menutup tidak dengan jawaban, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan bagi siapa saja yang terlibat di gerakan perlawanan agraria global. Jelas sekali ia tidak ingin perjuangan semacam itu hanya dilandasi romantisme pertanian sebelum dimasuki kapitalisme. Dalam dunia kapitalis modern, Bernstein menyatakan tidak mungkin jika kita ingin merubah keadaan tanpa melakukan analisis kelas.
Jika anda ingin serius menekuni isu seputar pertanian, reforma agraria, buku ini bisa saja disimpan dulu karena mungkin terlalu berat. Atau sebaliknya, buku ini bisa anda baca terlebih dahulu karena anda bisa melacak teori-teori babon di seputar isu agraria dan kapitalisme dalam buku ini, tentu jika anda teliti dan ulet. Kenapa isu semacam ini penting? Secara sederhana, karena laju pertumbuhan jumlah penduduk dunia bertambah dan ketersedian pangan harus dijadikan respon terhadap masalah tersebut.
Previous Post

Melawat ke Negeri Timur nan Eksotis: Sajian Berbeda dari Pariwisata di Hindia-Belanda

Next Post

Membicarakan Pendidikan Kita: Kritik dan Solusinya

Next Post

Membicarakan Pendidikan Kita: Kritik dan Solusinya

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagaimana Islam Memandang Aborsi, Childfree dan Perempuan Pencari Nafkah untuk Suaminya?

Bagaimana Islam Memandang Aborsi, Childfree dan Perempuan Pencari Nafkah untuk Suaminya?
oleh admin
17 Oktober 2025
0
ShareTweetSendShare

Apakah Perempuan Sekarang Sudah Menjadi Sarinah Seperti yang Soekarno Impikan?

Apakah Perempuan Sekarang Sudah Menjadi Sarinah Seperti yang Soekarno Impikan?
oleh admin
27 Desember 2024
1
ShareTweetSendShare

Panduan Menulis Resensi Buku

Panduan Menulis Resensi Buku

Panduan Menulis Resensi Buku

oleh admin
19 Desember 2024
0
ShareTweetSendShare

Definisi Moral, Apa Sih Itu?

Definisi Moral
oleh admin
13 Desember 2024
0
ShareTweetSendShare

"Baca Apa Yang Ingin Kamu Baca"

Menu

Penulis

Kontak

Daftar

Menjadi Penulis

Syarat Ketentuan

Privacy Policy

Copyright © 2023 Resensi.id. All rights reserved.

No Result
View All Result
  • Beasiswa
    • Beasiswa Go-Book
    • Beasiswa Go-Read
    • Beasiswa Go-Res
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Peresensi

© 2022 Resensi.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In