• Login
Resensi.id
  • Beasiswa
    • Beasiswa Go-Book
    • Beasiswa Go-Read
    • Beasiswa Go-Res
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Peresensi
No Result
View All Result
  • Beasiswa
    • Beasiswa Go-Book
    • Beasiswa Go-Read
    • Beasiswa Go-Res
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Peresensi
No Result
View All Result
Resensi.id
No Result
View All Result

“Rasa” Jawa Memandang Dunia di era Postmodern

admin oleh admin
9 Juni 2020
kategori filsafat, sastra
0
0
SHARES
12
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke Whatsapp



HM. Nasruddin Anshoriy dalam  Neo-Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa (2008) menyebutkan bahwa orang Jawa mempunyai harapan mengenai masa depan yang berhubungan dengan nilai spiritualitas. Tetapi, Ayu Utami melalui “Anatomi Rasa” lebih terbuka menyampaikan bahwa spiritualitas nusantara—dimana Jawa memegang peran krusial—bukan lagi harapan utopis, tetapi menjadi semakin relevan bagi masa kini. 

Dunia yang serba rasional kini menempatkan manusia bukan lagi dalam ancaman santet atau gangguan jin, melainkan berkelindan pada kegemaran mengonsumsi hoaks, kecanduan iklan, dan mengidap homo desiderare (makhluk yang berkeinginan). Imbas keunggulan peradaban modern-rasional yang mana penyebaran ilmunya dalam sistem terbuka.

Membaca perkembangan pemikiran filsafat Barat, masa kini tidak lagi tepat dinamakan era modern, melainkan era post-modern. Setelah kosmosentris, teosentris, antroposentris, kini tak ada lagi pusat. Masa dimana segalanya menjadi relatif . Ayu Utami menyebutnya sebagai akar keterburaian kesadaran. Jika segalanya relatif, maka siapa yang kuat, dialah yang menang (h. 245).

Segala etika destruktif, keserakahan, gila kemewahan, gandrung budaya luar, nafsu pada dogma, legitimasi kekuasaan atau dalam bahasa Rizal Ramli dalam tataran keindonesiaan disebut demokrasi kriminal, hingga segala bentuk kekerasan yang eksklusi adalah wujud nyata keterburaian kesadaran, di balik segala dampak positif perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini, terlepas dari perselisihan ketepatan era antara modern dengan postmodern.

Buku ini adalah salah satu penawaran dari Ayu Utami sekaligus perlawanan bagi cara berpikir masyarakat dunia post-modern. Ayu Utami Menggunakan Parang Jati sebagai tokoh utama yang dengan lembut mengutarakan isi dunia yang ditinggalinya melalui seluruh tulisan dalam buku ini. Tulisan tersebut ditujukan kepada Marja, kekasihnya, tentang rasa-rasa dalam kebatinan Jawa. Demikian Ayu Utami menyajikan buku ini, menempatkan dirinya hanya sebagai penyunting.

Agaknya kegelisahan Ayu Utami melahirkan buku ini mempunyai kesamaan seperti tertuang dalam buku “Think Different” oleh Faizin Karimi. Bahwa tradisi modern awal atas pembacaan manusia cenderang pada permasalahan akal dan logika (homo sapiens), hingga kemunculan Freud, para ahli kemudian melihat manusia sebagai homo desiderare. Terlebih setelah era Jacques Lacan, Hegel, Faucault, Derrida sampai Julia Kristeva dimana kosakata seperti keinginan, hasrat, gairah, libido mulai banyak digunakan untuk menjelaskan kompleksitas manusia.

Bedanya, Ayu Utami melihat perkembangan zaman ini dengan kebatinan kuno masyarakat Jawa. Cara Ayu Utami merelevankan kebatinan Jawa dalam dunia yang serba ilmiah-rasional dalam buku ini, mengikis feodalistik falsafah Jawa. Kebatinan Jawa—yang mengutamakan Rasa (rasa sejati) dalam lakunya—bagi sebagian orang menjadi hal tabu karena ketidakrasionalannya, justru dijadikan opsi cara pandang paling logis atas segala kelindan permasalahan dunia saat ini.

Kebatinan Jawa tentang anatomi rasa –yang dinamai DNA Nusantara oleh Ayu Utami—sangat logis untuk ditawarkan di zaman sekarang. Ia selayaknya sesuatu yang ditemukan kembali untuk melampaui kegelisahan manusia atas bayang-bayang keterburaian kesadaran. Ditujukan kepada orang yang beriman maupun agnostik atau bahkan ateis (h. xvii).

Memahami Anatomi Rasa

Anatomi rasa dipahami melalui falsafah jawa tentang Sedulur Papat Lima Pancer. Sedulur Papat ini memiliki beragam versi pemaknaan dalam banyak konsep sastra dan kebudayaan Jawa yang nantinya diulas pula dalam buku ini. Ayu sendiri mengartikan Sedulur Papat sebagai empat nafas (daya/dorongan) hidup dalam perlambang cahaya (nafas) merah (aluamah), hitam (amarah), kuning (supiah) dan putih (mutmainah).

Merah adalah nafas untuk menambah-membesar; hitamadalah nafas untuk mengalahkan, kuning adalah nafas kepada yang indah, dan putih merupakan nafas kepada yang benar. Keempatnya adalah nafas-nafas yang membuatmu hidup. Tapi mereka sekaligus bisa menjadi penghalang bagi hatimu, ketika nafas mulai menjadi nafsu, dan nafsu menjadi syahwat. Demikian tertera dalam naskah Suhubudi, naskah pedoman Ayu Utami dalam membongkar anatomi rasa.

Lalu dimanakah anatomi (struktur) yang dimaksud? Anatomi rasa ada pada cara kerja keempat nafas tersebut yang tergambar dalam bagan konsentris. Dalam bahasa modern kita anggap saja bagan tersebut adalah koordinat Cartesius. Merah-Hitam ada pada sumbu vertikal (wadah). Sedangkan kuning-putih ada pada sumbu horizontal (wiji). Bagi mereka yang sudah lekat dengan spiritualitas Jawa bisa saja bahasan ini akan menjemukan.

Sumbu wadah (mencakup kebertubuhan, keberadaan, kuantitas, eksistensi, ekstensi) menggambarkan tarik-menarik (saling uji) antara dorongan membesar (merah) dan dorongan mengecil (hitam). Sumbu wiji (kebermaknaan, kesifatan, kualitas, esensi, intensi) menggambarkan tarik-menarik (saling uji) antara dorongan menuju keindahan (kuning) dengan dorongan menuju kebenaran (putih). Mereka saling mengimbangi. Dan titik imbangnya adalah poros atau pancer, cahaya nafas yang tak berwarna.

Saling uji ini terjadi ketika nafas berubah menjadi nafsu. Ketika cahaya memancar lalu menemukan objek. Ketika lapar maka akan disikapi dengan makan. Nafas menjadi nafsu, cahaya menjadi tubuh kristal. Nafsu harus diuji oleh lawannya sebagai proses pemurnian. Nafsu makan (dorongan membesar) yang tidak diuji (dimurnikan) oleh dorongan kenyang (mengecil) akan menghasilkan kerakusan, dan mendatangkan pelbagai penyakit. Pada kasus obesitas adalah pemenuhan nafsu yang menjelma syahwat. Ketika tubuh kristal menjadi keruh dan mengendap.

Dalam hal tidak adanya hubungan kritis (saling memurnikan) antar prinsip cahaya nafas, maka nafas akan terlepas dari poros (pancer). Oleh sebab tidak adanya sumbu yang saling tegang, dikotomi wadah dan wiji juga mengingatkan kita pada konsep res extensa dan res cogitans (h. 251) tak akan terjadi bagan keseimbangan (keselarasan) yang berpurwa Rasa (rasa sejati).

Sejauh berkutat pada bahasan anatomi rasa yang khas spiritualitas Jawa, buku ini memiliki keunikan dalam pembacaan ulang falsafah jawa. Ketika Ayu Utami membagi dalam tiga bagian, rasa, religi dan rasio, di sanalah terpola dimensi ruang atas kerelevanan anatomi rasa. Melalui rasa, pembaca akan menemukan DNA Nusantara dalam tataran individu. Melalui religi, pembaca akan menemukan DNA Nusantara dalam tataran bangsa. Melalui rasio, pembaca akan menemukan DNA Nusantara dalam tataran dunia.

Ayu Utami dengan konsisten memaparkan bahwa manusia sering menyempitkan bahkan menyalahartikan rasa. Sebaliknya, pengertian rasa sesungguhnya meliputi rentang luas, dari yang paling inderawi (permukaan) hingga yang tinggi (spiritual).

Rasa dianggap sentimen belaka. Buruk karena tidak rasional. Atau, mengasyikkan bagi orang malas berpikir. Dua kecenderungan utama yang membuat kita terjebak  pada prasangka dan pemahaman sempit atas rasa yaitu: pendangakalan dan bias rasionalisme (H. 4).

Misalnya, dorongan (nafas) kita akan kebenaran (subjektif), terutama kebenaran yang tetap dan abadi, menemukan bentuknya (nafsu) dalam dogma atau doktrin agama, atau dalam teori-teori ilmiah (objektif). Dengan adanya dogma dan hukum, teori dan alat ukur, orang bernafsu mematuhinya lalu berubah (syahwat) akan kebenaran ketika hukum tak mau diuji oleh belas kasih. Kebenaran ilmiah tidak mau (diuji) oleh kesaksian subyektif. Ketetapan universal tidak mau dikritik oleh kejutan partikular. (H. 67).

Kecenderungan kedua, bias rasionalisme karena ‘efek perang’ dengan kebudayaan Barat. Rasa dipahami sebagai anasir irrasional yang merupakan musuh pemikiran rasional (dualisme pemikiran Barat). Maka perlu memikirkan kembali apakah kecanduan kita sendiri pada kejayaan yang ditawarkan pengetahuan modern bukan merupakan rasa?

Pemahaman lebih jauh mengenai anatomi rasa ini, tentu perlu pengujian lebih lanjut dan referensi lain yang mendukung, Ayu Utami sendiri secara implisit menyarankan pembacaan seri sebelumnya Bilangan Fu untuk melengkapi pembacaan mekanisme rasa dalam Anatomi Rasa ini.

DNA Nusantara yang menemani perjalanan bangsa kita bisa didekati dengan cara yang sangat rumit oleh rasional. Tapi, juga bisa dikenali dengan sangat sederhana oleh Rasa. Bebas untuk memilih jalan yang mana. Bahkan, jika di Amerika terdapat universitas dengan jurusan ilmu metafisika. Maka kemana Indonesia harus mencari kejayaan kalau bukan dari dirinya sendiri?


Judul : Anatomi Rasa

Penulis : Ayu Utami

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Jumlah Halaman : xviii + 277

Cetakan : pertama/2019

ISBN: 978-602-481-124-2

Peresensi : Betari Imasshinta

 

Previous Post

Dari Simulakra hingga Sepatu Seumur Hidup

Next Post

Laut, Kota Besar dan Optimisme Albert Camus

Next Post

Laut, Kota Besar dan Optimisme Albert Camus

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagaimana Islam Memandang Aborsi, Childfree dan Perempuan Pencari Nafkah untuk Suaminya?

Bagaimana Islam Memandang Aborsi, Childfree dan Perempuan Pencari Nafkah untuk Suaminya?
oleh admin
17 Oktober 2025
0
ShareTweetSendShare

Apakah Perempuan Sekarang Sudah Menjadi Sarinah Seperti yang Soekarno Impikan?

Apakah Perempuan Sekarang Sudah Menjadi Sarinah Seperti yang Soekarno Impikan?
oleh admin
27 Desember 2024
1
ShareTweetSendShare

Panduan Menulis Resensi Buku

Panduan Menulis Resensi Buku

Panduan Menulis Resensi Buku

oleh admin
19 Desember 2024
0
ShareTweetSendShare

Definisi Moral, Apa Sih Itu?

Definisi Moral
oleh admin
13 Desember 2024
0
ShareTweetSendShare

"Baca Apa Yang Ingin Kamu Baca"

Menu

Penulis

Kontak

Daftar

Menjadi Penulis

Syarat Ketentuan

Privacy Policy

Copyright © 2023 Resensi.id. All rights reserved.

No Result
View All Result
  • Beasiswa
    • Beasiswa Go-Book
    • Beasiswa Go-Read
    • Beasiswa Go-Res
  • Resensi
    • Resensi Buku
    • Resensi Film
  • Peresensi

© 2022 Resensi.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In