Setiap buku yang dicetak, selain bisa dibaca juga bisa digunakan untuk menampar. Buku kecil bersampul merah yang tipis ini, “Perempuan di Titik Nol” bisa menimbulkan rasa sakit yang berkepanjangan saat digunakan untuk menampar. Bukan karena ketebalannya, melainkan karena setiap kata yang tersusun dalam buku ini menampar setiap sisi patriarkis yang tersimpan di pojok-pojok jiwa setiap laki-laki yang membacanya.
Penulisnya adalah Nawal el-Saadawi, seorang dokter perempuan Mesir yang begitu dikecam di masanya. Melalui Firdaus, tokoh utama dalam novel ini, Nawal mengajari kita apa itu kehormatan dan harga diri seorang manusia dari mata seorang “pelacur”.
Dengan alur mundur Nawal el-Saadawi menceritakan pertemuannya dengan Firdaus yang sudah meringkuk dalam jeruji besi. Dari dalam sel, ia mendapat rangkaian cerita mengenai seorang gadis kecil cantik yang pintar tersandung bertubi-tubi kesialan nasib, termasuk saat mendekam dalam tahanan.
Pelarian Pertama Firdaus
Diawali dengan kisah Firdaus muda yang kabur akibat mendengar rencana perjodohannya dengan seorang Syekh tua yang baru pensiun, cerita tiba-tiba dibawa ke titik dimana Firdaus sudah menikah dengannya.
“..saya pun tak ingat lagi bagaimana saya jadi istri Syekh Mahmoud. Apa yang saya ketahui adalah apa yang harus dihadapi di dunia telah menjadi kurang menakutkan daripada bayangan kedua mata itu” (h. 60).
“.. bahwa justru laki-laki yang memahami agama itulah yang suka memukul istrinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan itu..” jawab paman firdaus saat ia kabur akibat dipukul suami tuanya yang terkenal ahli agama. Kesialan nasib pertama yang menyandung gadis cantik yang cerdas pun dimulai.
Pelarian Kedua
Alur cerita berubah di pelarian ke dua Firdaus. Ia bertemu Bayoumi, lelaki yang menanyakan jenis jeruk apa yang lebih ia sukai, yang rela tidur di lantai demi Firdasu bisa tidur di Kasur. Pengalaman hidup bersama Bayoumi berbanding terbalik dengan pengalaman hidup bersama ayah dan pamannya. Jika musim dingin semasa hidup dengan ayahnya, ia menempati kamar yang paling dingin, di dipan kayu yang tidak nyaman sementara ayahnya tidur di kamar yang hangat dan terpenting, tidak ada yang menanyakan apa makanan kesukaannya.
Tetapi ini hanya awal tragedi lain, berkat suatu pertengkaran Bayoumi untuk pertama kali memberi tamparan terkeras yang pernah Firdaus terima. Setelah itu beberapa kali Bayoumi dan teman-temannya menjamah Firdaus secara bergiliran. Pada titik ini Firdaus mulai mati rasa dan tanpa birahi dalam aktifitas seksual yang dialaminya.
Pelarian Ketiga
Sekali lagi, alur cerita berputar 180 derajat. Firdaus bertemu Syarifa yang membantunya terlahir kembali dengan cara baru dalam memandang kerasnya hidup. Pembaca akan mulai berharap inilah titik balik Firdaus.
“Lelaki tidak tahu nilai seorang perempuan, Firdaus. Perempuan itulah yang menentukan nilai dirinya. Semakin tinggi kau menaruh harga bagi dirimu semakin dia menyadari hargamu itu sebenarnya, dan dia akan bersiap untuk membayar dengan apa yang dimilikinya. Dan bila dia tidak memilikinya, dia akan mencuri dari orang lain untuk memberi apa yang kau minta” (h. 79).
Tetapi “nilai” yang dimaksud Syafira bukan nilai abstrak yang biasanya dibicarakan dalam kelas filsafat. Ia memaksudkan sebagai nilai upah pekerjaan sebagai pelayan nafsu lelaki berpendidikan yang keranjingan seks. Syafira adalah mucikari dan Firdaus bekerja padanya. Firdaus hanya bekerja tanpa tahu berapa sebenarnya upah yang ia dapat. Setelah bertemu Fawzi yang hendak mempersuntingnya, Firdaus kembali kabur dari apartemen Syafira, berjalan tanpa tujuan ke jalan raya yang kosong.
Pelarian Keempat
Kembali titik kehidupannya berubah, untuk pertama kalinya ia melayani birahi seorang lelaki, tetapi ia dibayar dan memegang uang bayarannya sendiri, untuk pertama kalinya setelah beberapa pelayanan yang uangnya ia tidak pernah terima. Uang pertamanya bebas ia gunakan untuk apa saja sesuai kehendak hati. Uang yang tidak harus mampir ke tangan Bayoumi atau Syafira terlebih dahulu.
Pengalaman dan pengetahuan mendapatkan uang, membuat Firdaus yang sebenarnya cerdas, berubah total. Ia bisa menghasilkan uang sangat banyak, menyewa apartemen, mempekerjakan koki dan manajer, memilih siapa lelaki yang boleh membayarya. Ia bahkan mengulang kebiasaan semasa sekolah, membaca surat kabar dan mendirikan perpustakaan di apartemennya dimana ia habiskan banyak waktu luangnya di sana. Firdaus merasa menjadi perempuan terpelajar.
“Dia tidak lagi merasa takut kepada apapun juga karena segalanya yang dapat menyakiti telah dialaminya” (h. 127).
Dalam dunia kerjanya Firdaus memasuki lingkungan dimana ia harus berurusan dengan polisi, jaksa, hakim, germo bahakan politisi terhormat yang mendapat untung dari siklus bisnis yang mereka jalani.
“..Kini saya telah belajar bahwa kehormatan memerlukan jumlah uang yang besar untuk membelanya, tetapi, bahwa jumlah uang yang besar tidak dapat diperoleh tanpa kehilangan kehormatan seseorang. Sebuah lingkaran setan yang berputar-putar, saya naik dan turun bersamanya… bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri (h. 133)”
Naik turunnya Firdaus, serta pergulatan pahitnya menjalani kehidupan dan menafsirkan apa itu lelaki, membuatnya pada titik dimana ia mati rasa.
“Kepasifanku adalah suatu bentuk perlawanan, suatu kemampuan yang aneh untuk tidak merasakan kenikmatan atau pun sakit. Tidak membiarkan Sehelai rambut pun di atas kepala atau pada tubuh saya untuk bergerak” (137).
Setiap tempat dan orang yang ia sangka akan memberinya rasa aman, menghianati kepercayaannya. Setiap titik dimana ia merasa aman dan nyaman, ada batu nasib kesialan yang mengetuk pintunya. Firdaus mempertanyakan apa itu kehormatan? Baik bagi dirinya yang mendapat upah setelah melayani nafsu seorang lelaki-lelaki, maupun bagi lelaki langanannya yang mendapat uang dengan cara kotor untuk diberikan kepadanya.
Kehormatan adalah kata yang menempatkan perempuan selalu kalah di tatanan masyarakat yang patriarkis, barangkali ini lah yang membuat Nawal diwaspadai, bahkan dibenci. Karena apa yang ia kerjakan adalah tuntutan keras pada dunia laki-laki yang digelimangi kehormatan palsu dan memaksa perempuan terhormat seperti Firdaus terjebak pada kesialan nasib, bertubi-tubi.
Judul Buku : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal el-Saadawy
Jumlah Halaman : 156 halaman
Penerbit dan tahun terbit : Yayasan Obor Indonesia (2010)
Peresensi : Ahmad Muqsith (Pimred Resensi.id)



